Sepinggai hujan masih dengan syahdunya
menari di atas bumi. Memercikan sejuta cerita tentang karunia Tuhan-Nya. Ada
duka, bahagia, dan tawa menyelimuti segudang cerita hamba-Nya.
Adalah alasan mengapa ada cinta ketika hujan
tiba. Ada doa yang mengucur deras agar di ijabah Oleh-Nya.
Malam ini begitu sunyi. Aku menyendiri. Sendiri
dalam sangkar klasik nan minimalis. Menanti cinta pertamaku tiba di
singgasananya. Dentuman petir seolah tak mau kalah mampir sejenak menyambangi
semesta.
Beberapa saat setelahnya, suara motor tua ikut
mengusik kemerduan sang hujan. Tanpa permisi membangunkanku di tengah lelapan
tidurku. Aku membuka pintu. melihat sosok usang malaikat tercintaku.
"Ayah. kenapa gak berteduh dulu ? hujannya
deras banget lhoh, Yah". Ujarku pada Ayah.
"Assalamu'alaikum". Ucap Ayah
tersenyum sembari masuk ke dalam istana kami.
"Wa'alaikumsalam". Jawabku.
Ayah, sosok tunggal yang aku miliki saat ini.
Dia pahlawanku, malaikatku di dunia.
Di rumah ini hanya ada aku dan Ayah. kami
tinggal berdua di gubuk kecil yang sering kami sebut istana.
Ya, di istana inilah aku tumbuh. bermanja ria
hanya dengan Ayah. Ibu sudah lama meninggal sejak dia melahirkanku. Murni hanya
Ayah yang aku miliki di dunia ini.
Malam itu kulihat wajah lelah
Ayah yang seharian mencari nafkah untuk kebutuhan kami. Sudah hampir 22 tahun
ayah berjualan cupcake. Di sebuah toko mini yang ia bangun dengan jerih
payahnya. Dengan di bantu dua orang karyawan, Ayah berhasil mengembangkan
bisnisnya
---
Hari ini aku akan mengikuti interview
di sebuah perusahaan terkemuka di kotaku. Seperti biasa, kemana pun aku pergi,
Ayah dan motor tua nya itu selalu menyertaiku. Bahagia rasanya, ketika
banyaknya gadis di luar sana berboncengan mesra dengan yang bukan mahramnya,
sementara aku berboncengan manja dengan ayah tercinta.
Jam menunjukkan tepat pukul
setengah tujuh pagi. Aku bergegas masuk ke dalam kantor. Ruang interview sudah
penuh sesak dengan para pelamar kerja. Aku duduk menunggu antrian. Beberapa
saat kemudian giliranku tiba. Aku masuk ke dalam ruangan. Keringat dingin tak
henti-hentinya mengucur deras membasahi tubuhku. Namun aku tetap berusaha
bersikap tenang. Wajar saja, ini adalah kali pertama aku melamar kerja di
sebuah perusahaan besar.
Sesi interview berjalan lancar.lega rasanya telah
melewati masa itu. Satu minggu lagi adalah penentuan di terima atau tidaknya
aku untuk bekerja di kantor itu.
Setidaknya masih ada usaha terakhir yang bisa
kau lakukan untuk meraih mimpiku tersebut, yaitu berdoa.
Jam menunjukkan pukul empat sore. Aku menunggu
jemputan dari Ayah. Tidak biasanya Ayah terlambat datang menjemputku. Selama
ini ayah selalu datang tepat waktu.
Bahkan ia lebih senang menungguku daripada aku
yang menunggu Ayah datang. Tapi kali ini tidak. Sudah lebih dari satu jam aku
menunggu Ayah.
Tiba-tiba terdengar suara klakson menyapaku.
“Mas Karyo” Seruku.
Bukan Ayah yang menjemputku, tapi salah seorang
karyawan Ayahku. “Dimana Ayah ?” tanyaku.
“Pak Wahyu ada di rumah sakit, mbak. Tadi
mendadak pingsan di toko”. Ujarnya.
Aku terkejut mendengar berita itu. Kami berdua
pun langsung bergegas menuju rumah sakit tempat Ayah di rawat.
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat tubuh
Ayah tergolek lemas di atas tempat tidur. Ayah tersenyum melihatku.
“Cantik, maafin Ayah ya, tadi ayah gak bisa jemput
kamu. Kamu pasti lama ya nungguin Ayah datang. Gimana interviewnya ? Ayah yakin
kamu pasti bisa”. Katanya.
Tak kuasa air mataku menetes di pipi.
Akhir-akhir ini Ayah memang sering keluar masuk rumah sakit. Penyakit migrain akut
yang menyerang Ayah sering membuat ayah mendadak pingsan.
Sudah
hari ketiga Ayah di rawat di rumah sakit. Aku selalu menemani Ayah setiap
waktu. Namun sesekali, aku juga datang ke toko untuk menghandle pekerjaan Ayah.
Sejak kecil aku memang sering datang ke toko. Ayah selalu mengajariku banyak
hal tentang toko itu. Bahkan resep rahasia cupcake buatan ayah sudah mahir aku
kuasai. Ya, cupcake ayah memang beda jika di banding dengan toko-toko lain.
Hari
ini Ayah sudah di perbolehkan untuk pulang ke rumah. Ayah memintaku untuk mengantarkannya
ke toko. Namun aku menolaknya. Laki-laki itu. Tidak habis pikir aku dengannya.
Semangat kerjanya begitu tinggi. Sampai-sampai ia lupa bahwa kesehatannya jauh
lebih berharga dari segalanya.
---
Hari ini adalah pengumuman di terima atau tidaknya
aku untukk bekerja dikantor itu. Bolak-balik aku mengecek telepon genggamku,
namun belum juga ada panggilan masuk atau sekedar pesan pemberitahuan.
Hari sudah menjelang siang. Matahari bersolek
dengan teriknya. Namun kabar bahagia itu belum juga menyapaku. Harap-harap
cemas aku menanti berita itu. Berharap perjuanganku tak sampai memupuskan
harapan Ayah. Dia penyemangatku. Dia alasanku untuk tetap berjuang. Ayah.
Tiba-tiba
hapeku berdering. Ada pesan singkat masuk. Aku bergegas membacanya. Ternyata pemberitahuan
bahwa aku di terima kerja di perusahaan itu dan diminta untuk mengikuti final
interview.
Betapa bahagianya aku saat itu. Impianku untuk
bekerja di perusahaan besar akan tercapai.
Aku segera memberitahu Ayah tentang hal ini.
Ayah juga ikut bahagia mendengarnya. Aku percaya tidak ada doa yang sia-sia.
Tidak ada jerih payah yang tiada artinya. Percayalah, doa orang tua selalu
menyertai setiap jengkal kesuksesan kita.
Hari
ini aku menghadiri interview final. Ayah begitu bersemangat mengantarku menuju
kantor. Sebenarnya aku tidak mengizinkan Ayah untuk mengantarku. Toh aku bisa
naik angkutan umum atau minta tolong karyawan Ayah untuk mengantarku. Namun
Ayah menolaknya. “ Gak papa, Ayah Cuma pingin menjaga bidadari Ayah kemanapun
ia pergi. Karna itu tanggungjawab Ayah”. Ujarnya.
Aku
masuk ke dalam sebuah ruangan. Bertatap muka dengan salah seorang manager di
kantor itu. Beliau menjelaskan panjang lebar tentang tugas dan tanggungjawab
pekerjaanku nantinya. Di penghujung percakapan, manager itu memberitahuku bahwa
aku akan di tempatkan di luar pulau jawa. Salah satu kantor cabang milik
perusahaan itu. Ia menyodorkanku selembar kertas dan memintaku untuk
menandatangani kontrak kerja tersebut.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan ? tidakkah
ini begitu membuat logika ku meruntuh ? Aku benar-benar menginginkan pekerjaan
ini. Tapi bagaimana dengan Ayah ?. Aku harus benar-benar memutuskannya detik
itu juga. Tidak ada waktu yang di berikan kepadaku untuk berpikir sejenak.
Aku memutuskan untuk tidak menerima tawaran itu,
dengan konsekuensi aku gugur untuk bisa bergabung dengan perusahaan itu. Ya, mungkin ini jalan terbaik untukku. Dengan
alasan apapun,aku tidak akan sampai hati berpisah jauh dari Ayah. Berapapun
besarnya materi,ia takkan bisa membeli kebahagian dengan orang yang kita
cintai.
Aku
keluar dari kantor tersebut. Dengan langkah gontai namun penuh bakti. Aku
melihat ayah dari seberang jalan. Menungguku dengan penuh tulus dan harap. Ia
melemparkan senyum kepadaku. Aku menghampirinya. Spontan aku memeluk ayahku.
Mencari sedikit kehangatan untuk melepas segala kepenatan. Ayah menciumku dan
mengusap kepalaku. Inilah kebahagiaanku.
Sesampainya
di rumah, aku menceritakan semuanya pada Ayah. Ayah tersenyum dan memberikan
nasihat hangat kepadaku. Bebanku seolah hilang.
Tidak mengapa aku kehilangan impian besarku.
Justru pada kenyataannya impian terbesarku ada di hadapanku, yaitu selalu
bersama Ayah.
Hari-hariku
aku habiskan bersama Ayah. Setiap hari aku dan ayah selalu berangkat ke toko
cupcake bersama. Aku mulai belajar berbagai seluk-beluk tentang dunia cupcake
dan pemasarannya. Belajar dari guru besarku, guru kehidupanku, ayahku.
Impianku kini bukan lagi tentang menjadi
karyawan di perusahaan besar, namun impianku sekarang adalah bagaimana agar aku
bisa membesarkan bisnis cupcake yang telah puluhan tahun menemani perjalananku
dan Ayah. Hanya itu.
Bahagia pada dasarnya sederhana. Cintai apa
telah kamu miliki, dan syukuri cinta yang telah Tuhan beri. Maka bersiaplah
untuk menyambut bahagia.